Benarkah Laki-Laki Tidak Memiliki Peran dalam Tradisi Menenun di Manggarai?
1 April 2023 1.334x Wastra
Untuk memperkaya narasi tentang Flores, Warisan Flores berkolaborasi dengan para penulis lokal, praktisi pariwisata, pengelola destinasi wisata, dan siapa saja yang memiliki perhatian dan semangat yang sama untuk berbagi tentang “untold Flores”’. Berikut adalah tulisan dari seorang kawan kami, Elisabeth Hendrika Dinan, yang saat ini menjadi Pengampu di Rumah Tenun Baku Peduli, pusat koleksi dan konservasi tenun dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selamat membaca!
Awal Minggu beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan seorang kawan yang sedang melakukan riset kain nusantara untuk kebutuhan thesisnya. Kami berkenalan via media sosial cukup lama dan ini pertama kalinya kami bertemu. Secara kebetulan kami sedang berada di sebuah acara yang sama. Long story short, kami menarik diri agak menjauh dari kawan-kawan lain dan mulai berbagi cerita tentang dinamika kehidupan komunitas masing-masing. Kebetulan yang lain, kawan baru ini juga terlibat dalam satu komunitas batik di Jawa Timur. Mungkin karena sama-sama tumbuh dari komunitas lokal, banyak cerita tentang kenalan yang rupanya lingkaranya saling terhubung. Kenalan dia, kawan saya juga. Kenalan saya, kawan dia juga. Dunia kecil. Lingkarannya menarik garis ke mana-mana dan menutupnya pada satu titik.
Setelah basa-basi cukup lama, kawan baru ini bertanya: “eh di sana (Flores) apa benar hanya perempuan yang boleh menenun?
Saya dengan nada bercanda menjawab: “iyo, mungkin benar mungkin juga tidak.”
Mungkin karena melihat saya tidak terlalu banyak merespon, dia kemudian mulai bercerita bagaimana perkembangan batik di lingkungannya yang dulu menjadi pekerjaan perempuan semata. Kini, batik diproduksi oleh industri besar dan laki-laki mulai terlibat serta mengambil peran cukup banyak. ‘’Dulu stereotipe bahwa perempuan lebih lembut, tekun, sabar, lebih teliti. Oleh karena itu, pekerjaan membatik, menganyam dan merajut. masyarakat kita menyebutnnya sebagai pekerjaan perempuan,” tuturnya.
“Lalu kalian di Flores bagaimana?” tanyanya lagi.
Saya pun mulai bercerita. Saya mengawali dengan menegaskan bahwa, apa yang akan saya ceritakan, tidak mewakili situasi di Flores pada umumnya. Saya akan menceritakannya sesuai dengan kondisi yang berlaku di kampung halaman saya. Bagaimana peran laki-laki menghilang dan dinilai tidak berkontribusi dalam menenun. Mengapa?
Ada banyak hal yang menjadi masalah dalam upaya konservasi tenun. Soal nilai, soal apresiasi, atau soal regenerasi penenun. Tetapi juga sterotipe bahwa hanya perempuan yang boleh menenun menjadi masalah lain yang diamini dengan mudah oleh masyarakat kita. Betulkah menenun hanya pekerjaan perempuan? Teman saya tadi tidak menjawab. Ia justru memasang wajah bingung dan barangkali di dalam hatinya mulai mengumpat. Kenapa ini orang malah balik tanya ke saya.
Yah, memang cukup sulit mengubah sterotipe tersebut, tetapi perlu diingat bahwa laki-laki juga dirugikan dengan sterotipe ini. Di dekat kampung saya terdapat dua laki-laki yang menenun dan menghasilkan uang jauh lebih banyak dari penenun perempuan. Ketika perempuan menenun sarung songke, salah satu dari kedua laki-laki tersebut menenun kain-kain kecil seperti syal yang dapat terjual dengan cepat. Ketika bertemu dan berkesempatan mewawancarainya, saya mendapati jawaban bahwa beliau memilih menghasilkan uang dari tenunan daripada menjadi buruh proyek bangunan di Labuan Bajo sebagaimana yang terjadi pada sebagian besar kaum pria di kampung tersebut. Dan kemudian muncul masalah lain, pemikiran positif ini diolok-olok, beliau dianggap sebagai laki-laki yang gemulai oleh warga sekitar. Tidak lazim laki-laki menenun. Di kesempatan yang sama, saya juga bertanya pada orang tua beliau “Nene…. Bagaimana tanggapan nene soal om yang menenun ini?” Jawabanya membuat saya cukup terkejut: “ya…. menenun ini kan buat cari makan dan ini bagian dari keterampilan tangan. Saya tidak apa-apa kalau dia menenun.”
Kembali ke percakapan antara saya dan teman tentang tenun.
Saya lalu bercerita tentang kondisi yang lain, menenun itu proses kerja yang cukup panjang. Jika definisi menenun yang dimaksudkan oleh banyak orang adalah bagian memasukan benang pakan dalam benang lungsi, memang terkadang ada keterlibatan laki-laki di sana. Meskipun hanya sebagian kecil, seperti mempersiapkan benang dengan cara menggulung benang menjadi bola benang (purung lawe), memindahkan benang dari bola benang ke ruas bambu untuk benang pakan (keliri lawe). Pekerjaan-pekerjaan itu, biasanya dilakukan oleh laki-laki. Atau lebih jauh lagi, mencari bahan pewarna ke dalam hutan, membakar batu menjadi kapur tohor untuk campuran pewarna. Ada banyak sekali peran laki-laki yang sebenarnya tanpa kita sadari telah dihilangkan dari narasi tenunan ini.
“Kita yang hilangkan itu maksudnya bagaimana?” lagi-lagi ia bertanya. Kawan saya ini rupanya jago korek-korek cerita.
Yah, narasi kita yang tidak mengakui bahwa laki-laki juga terlibat. Di Manggarai mungkin perannya sangat sedikit, tetapi di wilayah lain di NTT untuk saat ini, banyak laki-laki yang terlibat dalam proses menenun. Kawan-kawan saya di Sumba misalnya, punya peran yang sama besarnya dengan perempuan dalam membuat motif, mengikat benang, mencelup, dan tetek bengek pekerjaan menenun lainnya. Apalagi mereka yang terlibat dalam gerakan pewarna alam. Kalau masih mengkotak-kotakkan peran laki-laki dan perempuan, sebenarnya akan mempengaruhi proses penyelesaian tenunan itu sendiri.
Di Manggarai, saya melihat bahwa peran laki-laki menghilang karena adanya faktor dari luar, seperti masuknya benang-benang polyester yang sudah digulung rapi dan bisa langsung digunakan. Apalagi benang-benang tersebut sudah diwarnai. Bisa dikatakan kemudahan-kemudahan ini membuat laki-laki tidak merasa memiliki peran lagi dalam menenun. Yang tersisa sekarang adalah para pengrajin yang membuat alat-alat tenun (ewang Dedang). Di beberapa kampung di Cibal Timur perempuan juga terlibat, seperti membuat Sisir (Jangka).
Apakah laki-laki memiliki peran dalam menenun? Ya tentu saja ada!
Boleh dikatakan, masyarakat modernlah yang menghilangkan peran tersebut. Bagaimana laki-laki berperan dalam tradisi menenun, mungkin hanya akan tersisa dalam dongeng-dongeng atau cerita rakyat masa lalu. Di mana selembar tenunan masih ditenun dari bahan-bahan yang kita ambil dari alam. Kita masih berelasi baik dengan alam, dan menganggap hutan sebagai ibu yang baik, yang memberi semua hal yang kita butuhkan secara gratis. Maka, di sana kita dapat melihat, laki-laki dan perempuan berbagi peran dengan adil.
Narasi: Heny Dinan
Foto: Angelika Edelmann & NM Bondan
Kontak Kami
Apabila ada yang ditanyakan, silahkan hubungi kami melalui kontak di bawah ini.
-
Hotline
081321977716 -
Whatsapp
081321977716 -
Email
warisanflores@gmail.com
Belum ada komentar