Beranda » Sejarah & Budaya » Kapal Bagan Dan Bagaimana Orang Gunung Mengenal Laut

Sekian tahun lalu, pernah ada suatu masa di mana kami orang-orang Manggarai di pegunungan (Ata Golo) mengenal laut dari dua hal, pertama adalah Ikan Cara dan kedua adalah Kapal Bagan. Ikan Cara atau kami menyebutnya Nakeng Ancara yang merupakan salah satu jenis Ikan Baronang adalah serupa pintu bagi kami yang tinggal di gunung untuk mengenal aroma laut. Dari aroma Ikan Cara yang dibakar, kami mengetahui bahwa di balik lingko-lingko (wilayah pertanian) di bukit-bukit, ada wilayah lain yang disebut pesisir. Kami menyebut orang-orang yang tinggal di pesisir dengan sebutan “ata biring” yaitu orang-orang yang tinggal di tepi laut.

Ikan Cara yang ada di kampung dibawa oleh pedagang-pedagang lokal. Mereka membelinya di Pasar Warloka, setelah berjalan kaki berhari-hari. Tiba di kampung, puluhan ikat Ikan Cara itu bersama beberapa jenis ikan kering lainnya dijual dengan digantung di dinding depan rumah. Seringkali, ikan-ikan itu ditukar dengan beras.

Kapal Bagan adalah sebutan kami untuk Bagang, kapal tradisional untuk menangkap ikan oleh nelayan Bajo dan Bugis di pesisir Labuan Bajo. Pada saat itu, ada banyak remaja dan orang muda Manggarai pegunungan (khususnya dari Kampung saya) yang turun dari gunung ke pesisir dan bekerja sebagai sawi atau kru Kapal Bagan yang bertugas melepas dan menarik jala di kapal-kapal Bagan milik nelayan Bajo dan Bugis.

Bermula dari satu-dua orang yang meninggalkan kampung dan ‘nyasar’ mendapat kerja di Kapal Bagan, seiring perjalanan waktu, makin banyak orang muda yang turun ke pesisir. Kala itu, di kampung saya, budaya “Lako Mbeot” atau merantau memang sedang menjadi trend dengan dua kota tujuan utama, Bima dan Ujung Pandang.

Sebutan ‘lako mbeot’ kala itu merujuk pada perjalanan jauh yang belum memiliki tujuan pasti, entah untuk bersekolah, entah untuk bekerja, hanya dengan modal satu-dua liter biji kopi dan berlapis-lapis kenekatan. Naik Kapal Fery menyebrang ke pelabuhan Sape, lalu melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil mini bus menuju Kota Bima atau menumpang Kapal Pelni Tilong Kabila ke Ujung Pandang. Tradisi Lako Mbeot ini masih berlangsung hingga kini walau pada umumnya lebih banyak untuk tujuan sekolah dengan dukungan finansial yang cukup dari orang tua.

Untuk teman-teman muda yang tak berminat lako mbeot jauh, menjadi sawi di kapal-kapal Bagan di Labuan Bajo menjadi pilihan. Mereka bekerja tiap musim banyak ikan. Saat jeda tangkap ikan, mereka pulang libur. Membawa radio tape besar dan memikulnya di jalanan kampung. Otot-otot mereka besar dan rambut mereka pirang. Pun saya yang masih SD kala itu sempat berpikir untuk kerja di Bagan saja kalau sudah tamat SD. Di kampung, mereka bercerita tentang ikan, laut, kapal, dan pulau-pulau. Dari cerita mereka, kami mengenal orang-orang yang merawat hidup selain membuka kebun di hutan-hutan.

Seiring perkembangan Labuan Bajo menjadi destinasi wisata, pesona kapal-kapal Bagan perlahan memudar. Orang-orang dari kampung saya tak lagi ada yang bekerja sebagai sawi. Seiring infrastruktur jalan antar kampung dan desa yang juga mulai membaik, akses orang-orang pegunungan ke pesisir juga semakin mudah. Pun kini, beberapa orang muda pegunungan ada yang menjadi Kapten kapal-kapal wisata. Begitulah Kapal Bagan dan Ikan Cara, dua pintu yang darinya, kami orang gunung mula-mula mengenal laut.

Narasi: Boe Berkelana
Foto: NM Bondan

Belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi.

Komentar Anda* Nama Anda* Email Anda* Website Anda

Kontak Kami

Apabila ada yang ditanyakan, silahkan hubungi kami melalui kontak di bawah ini.