Menimba Kearifan di Bukit Gelagah
10 August 2023 360x Kampung Tradisional
Suatu pagi di Wologai. Menimba kearifan pada Mosalaki, para orang tua yang menjadi tiang dan pasak kampung adat. Mosalaki, yang pada ingatan mereka, sejarah dan nilai tradisi bisa terus didengar dan dibaca ulang lalu menjadi panduan hidup keseharian.
Kami duduk di teras Sa’o, rumah tinggal, yang seperti manusia, punya riwayatnya sendiri. Rumah-rumah di Wologai, sebagaimana di kampung tradisional lainnya di Ende juga di Nagekeo, memiliki nama. Nama yang bukan asal nama, dan mungkin berbeda dari apa yang disebut Shakespeare bahwa “what is in a name?… Romeo akan tetap ganteng walau namanya bukan Romeo, atau Juliet akan tetap terlihat cantik walau namanya bukan Juliet. Apalah arti sebuah nama?”. Bukan, nama-nama rumah di Wologai tidak seperti itu. Mereka memiliki nama dan nama mereka adalah bentuk mereka. Yang telah melewati tahapan demi tahapan ritual adat sebagaimana bisa dibaca melalui ukiran kayu di dinding pintu masuk rumah. Dan Wologai, sebagaimana kata Bapak Pius, sang Mosalaki Pu’u di Wologai, telah berusia lebih dari delapan ratus tahun, melewati sembilan generasi.
Hingga hari ini, orang-orang Wologai masih memegang teguh tradisi, sebagai pegangan hidup, lalu ada agama yang menggenapkan, sebagaimana komunitas budaya lainnya di seluruh Flores yang menjadi bagian dari tiga tungku api kehidupan; budaya, gereja (agama), dan negara.
Orang-orang Wologai tidak menenun, sebagaimana orang-orang yang tinggal di wilayah utara Ende lainnya. Orang-orang Suku Lio yang menenun berada di wilayah selatan. Ada syarat budaya mengapa itu terjadi dan dipegang teguh hingga hari ini.
“Sejak dulu, peraturannya memang begitu. Kami fokus bertani, di wilayah selatan yang menenun. Ada saatnya kami melakukan barter komoditi pertanian dan kain tenun”, kata Bapak Leo, salah satu Mosalaki lainnya menjelaskan salah satu alasannya.
Kampung Wologai berada di lembah pegunungan Kelimutu. Dari Wologai, puncak danau Kelimutu bisa ditempuh sekira dua jam perjalanan berkendara mobil atau sepeda motor. Kini, bersama Taman Nasional Kelimutu, Desa Wologai juga merintis jalur treking yang bisa ditempuh sekira tiga hingga empat jam jalan kaki.
Sebagaimana kepercayaan orang-orang Suku Lio, orang-orang Wologai percaya bahwa selepas manusia meninggal dunia, arwah mereka akan pergi ke puncak Kelimutu. Tiga kawah besar dengan warna berbeda di Danau Kelimutu adalah tempat para arwah tinggal. Tiwu Ata Mbupu adalah tempat bersemayamnya arwah orang tua, Tiwu Ata Polo untuk arwah orang jahat, dan Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai untuk arwah orang muda. Sekali setahun, di Danau Kelimutu digelar “Pati Ka Dua’a Bapu Ata Mata”, acara memberi makan arwah leluhur yang melibatkan warga komunitas adat dan warga perkampungan di sekitaran pegunungan Kelimutu.
Nama Wologai diambil dari kosakata Bahasa Lio. Wolo artinya bukit, Gai artinya pohon Gelagah.
Bila Anda melintasi Flores, jangan lupa singgah di Kampung Wologai.
Foto & Teks: Boe Berkelana
Kontak Kami
Apabila ada yang ditanyakan, silahkan hubungi kami melalui kontak di bawah ini.
-
Hotline
081321977716 -
Whatsapp
081321977716 -
Email
hi@warisanflores.com
Belum ada komentar