Songkol Dan Upaya Menghidupkan Cerita Makanan Khas Manggarai
6 January 2023 428x Kuliner
Pada masa lalu, sebelum mengenal beras, orang-orang Manggarai hidup dari jagung dan umbi-umbian. Mengacu ke linimasa sejarah, pada abad 18 jagung sudah menjadi makanan pokok di Indonesia Timur, bahkan di pulau kecil seperti Sumba, NTT. Namun, jagung sudah masuk NTT untuk pertama kalinya sekitar tahun 1670-an. Disebutkan jagung dari Pulau Timor dikenal sebagai “Indian corn”. Jagung dibawa bangsa Portugis dan Spanyol abad 16 sebagai salah satu dari beberapa jenis tanaman yang dibawa dari benua Amerika. Sedangkan umbi-umbian, khususnya singkong, belum didapati referensi dari mana awalnya ia berasal. Di Manggarai, orang-orang setempat mengolah jagung (latung) menjadi beberapa jenis makanan yaitu Lenco, Rebok, Wesang, Luwuk, Latung Cero, dan lain sebagainya. Sementara bahan dasar Singkong diolah menjadi Lemet, Songkol, dan lainnya.
Seiring perkembangan zaman, beberapa makanan yang disebutkan di atas sudah jarang ditemui dalam keseharian warga. Dominasi beras sudah terlalu kuat sebagai makanan pokok orang-orang Manggarai. Beberapa di antaranya memang masih bisa dinikmati di beberapa daerah, khususnya wilayah pelosok, namun banyak di antaranya yang hanya hidup dalam cerita-cerita, dalam ingatan. Tidak ditemukan wujud dan bentuknya. Songkol merupakan salah satunya.
Songkol di Manggarai Barat, boleh jadi penyebutannya berbeda untuk Manggarai tengah dan timur, ia dibuat dari tepung singkong kering (tete kilu). Dimasak menggunakan periuk dari tanah liat (lewing tanah) dan bambu (tobong). Potongan bambu yang telah berisi tepung singkong diletakkan di mulut periuk. Uap air panas dari periuk tanah masuk ke lubang-lubang kecil dibagian bawah bambu. Di beberapa wilayah pelosok Manggarai Barat, bambu diganti dengan anyaman tikar berbentuk kerucut, seukuran dengan mulut periuk tanah.
Tak mudah mendapati Songkol di Labuan Bajo, pun wilayah Manggarai Barat secara umum. Beberapa wilayah pelosok mungkin masih ada yang membuatnya, namun sudah sangat jarang terdengar. “Dulu Songkol ini makanan sehari-hari, Nana. Belum ada beras waktu itu”, cerita seorang Ibu di Kampung Melo siang ini. “Dulu biasanya makan dengan ikan. Ikan kering (nakeng dango) bakar. Ikan-ikan dibeli di Amba Warloka (pasar warloka kini)”, lanjutnya. Sejak dulu memang, orang-orang Manggarai tinggal di gunung-gunung. Mereka membuka ladang. Berkebun dari bukit ke bukit. Hidup dari apa yang ditumbuhkan tanah.
Untuk Manggarai Barat, satu-satunya pasar rakyat yang ada kala itu adalah Amba Warloka (pasar Warloka) di pesisir selatan Labuan Bajo. Orang-orang dari wilayah Mbeliling dan Sano Nggoang membeli ikan, garam, dan kebutuhan lainnya di pasar ini. Berjalan kaki puluhan kilometer. Bila ada yang menjual kemiri, mereka mengangkutnya dengan Kerbau. Amba Warloka adalah tempat berjumpanya orang-orang dari gunung dan orang-orang dari laut, khususnya orang-orang yang mendiami Pulau Rinca (kampung Kerora dan Kampung Rinca). Hingga kini, Amba Warloka masih bertahan, dan praktik barter antar penjual dan pembeli masih dilakukan.
Kini, tradisi membuat Songkol perlahan hilang. Di masa datang, mungkin ia hanya akan hidup di cerita-cerita dan ingatan-ingatan. Namun, itu masih baik. Cerita tentang songkol masih hidup. Ingatan-ingatan tentang Songkol masih belum memudar. Sebelum ia benar-benar hilang dari ingatan dan hanya akan menjadi dongeng, upaya-upaya untuk kembali menghidupkannya menjadi sebuah keniscayaan.
Dengan kesadaran akan pelestarian makanan tradisional dan penghargaan akan pengetahuan lokal, kini beberapa pihak mulai melakukan inisiatif dan langkah-langkah kecil. Menjadikan Songkol sebagai makanan lokal yang enak dan membanggakan dengan improvisasi pada tata cara penyajian.
Mai ga, hang Songkol!
Foto: NM Bondan
Narasi: Boe Berkelana
Kontak Kami
Apabila ada yang ditanyakan, silahkan hubungi kami melalui kontak di bawah ini.
-
Hotline
081321977716 -
Whatsapp
081321977716 -
Email
warisanflores@gmail.com
Belum ada komentar